Mau dapet Duit??


eConomic syaRi'ah Theme

Economic Syariah for the future

EKONOMI ISLAM KONTRA EKONOMI KONVENSIONAL 09.19

EKONOMI ISLAM KONTRA EKONOMI KONVENSIONAL


BAB I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Masalah ekonomi merupakan masalah yang universal, karenanya seluruh dunia menaruh perhatian yang besar terhadap permasalahan ekonomi. Para ahli ekonomi sibuk membuat asumsi-asumsi dan teori-teori yang pada akhirnya memunculkan blok-blok pemikiran dan menjadikan dunia terpecah menjadi blok barat dan blok timur; kapitalis dan komunis, dan seterusnya.

“Dunia ekonomi telah memasuki suatu fase ketidakstabilan yang luar biasa dan perjalanan masa depannya benar-benar tidak pasti,” tulis Helmut Schmidt kira-kira satu dekade yang lalu. Ironisnya kesalahan multidimensi terhadap falsafah, konsep, dan prinsip tersebut tidak dijawab secara menyeluruh. Pertanyaan : Apakah kesalahan itu ? bukan dicarikan jawaban secara menyeluruh tetapi hanya dicarikan jawaban yang bersifat simtom (gejala) saja, seperti jawaban atas pertanyaan : ketidakseimbangan anggaran, ekspansi moneter yang berlebihan, defisit neraca pembayaran yang begitu besar, tidak memadainya bantuan asing, dan lain sebagainya. Akibatnya, penyembuhannya hanya bersifat tentatif , untuk kemudian timbul lagi, bahkan lebih mendalam dan serius.

Karena itu, perlu dilakukan upaya yang serius untuk menganalisa akar persoalan tersebut dan kemudian menentukan strategi yang tepat untuk memberikan solusi yang paripurna dalam mengatasi krisis multidimensi ini.

Dalam pandangan Islam, permasalahan diatas tidak dapat diselesaikan hanya melalui perubahan yang bersifat kosmetik belaka, diperlukan perubahan yang bersifat mendasar mulai dari tatanan phylosofi yang akan membentuk teori ekonomi Islam, yang kemudian akan membentuk prinsip-prinsip sistem ekonomi Islam sehingga pada akhirnya akan terbentuk secara otomatis perilaku Islami dalam ekonomi dan bisnis.
1.2. Tujuan

Makalah ini dibuat dengan tujuan untuk menggambarkan perbedaan konsep ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam ditinjau dari sudut moral dan etika.

Selain itu, penulis juga akan menjabarkan filsafat, nilai dasar, nilai instrumental, dan rancang bangun ekonomi Islam.

1.3. Pembatasan Masalah

Pembahasan dalam makalah ini akan dibatasi pada 2 (dua) pokok bahasan, yaitu :
1). Pembahasan tentang rancang bangun dari ekonomi Islam yang dimulai dari pembahasan mengenai filsafat ekonomi Islam, nilai-nilai dasar ekonomi Islam, sampai dengan nilai instrumental ekonomi Islam.
2). Pembahasan tentang perbedaan konsep ekonomi konvensional dengan ekonomi Islam ditinjau dari sudut moral dan etika.


BAB II. EKONOMI ISLAM KONTRA EKONOMI KONVENSIONAL

2.1 Sistematika Nilai Ekonomi

Sistematika merupakan penggolongan nilai-nilai menurut hirarki tertentu sehingga kita dapat menarik hubungan nilai dan interaksinya sehingga eksistensi suatu sistem dapat dijelaskan. Sistematika hirarki nilai dari suatu sistem pada dasarnya sama, yang membedakan adalah substansi dari nilai tersebut yang ditentukan oleh agama atau aliran pemikiran tertentu.

Berangkat dari hal tersebut diatas, maka perlu dibentuk perangkat nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental bagi kegiatan ekonomi yang dikehendaki oleh sistem. Tiga komponen penting dalam menyusun eksistensi ekonomi adalah : filsafat, nilai dasar, dan nilai instrumental ekonomi.

Filsafat ekonomi merupakan nilai dasar sistem ekonomi yang dibangun menurut dasar hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan sebagai pedoman nilai-nilai dan pandangan tentang kegiatan ekonomi. Bertolak dari filsafat sistem ekonomi, dapat diturunkan nilai-nilai dasar yang akan membangun kerangka sosial, legal, dan tingkah laku dari sistem. Selanjutnya akan didapatkan nilai-nilai instrumental sebagai perangkat aturan main yang akan menjamin terlaksananya sistem yang ada.

Menghadapi berbagai permasalahan ekonomi yang telah diuraikan diatas, kita hendaknya kembali kepada konsep segitiga (triangle) filsafat Tuhan-manusia-alam yang saling bersinergi.


Pemahaman yang keliru terhadap konsep filsafat ini akan berakibat penjungkirbalikan konsep segitiga (triangle) filsafat Tuhan-manusia-alam yang akan mengakibatkan terjadinya eksploitasi nilai-nilai dasar maupun instrumental, yang selanjutnya membawa manusia kepada pendewaan dirinya sendiri (anthroposentris) dan memasuki wilayah ekonomi sekuler dengan menggeser eksistensi Tuhan (teosentris) seperti pada ekonomi liberal kapitalis, atau dengan menghilangkan eksistensi Tuhan seperti pada ekonomi Marxis-Sosialis. Kenyataan telah menunjukan bahwa kedua bentuk ekonomi tersebut telah membuat manusia memperbudak dan mengeksploitasi manusia lain, kekayaan alam, dan bahkan juga Tuhan untuk memenuhi kebutuhan dan atau kepentingan dirinya sendiri. Akibat selanjutnya adalah akan terjadi dekadensi nilai antar manusia dengan Tuhan, dehumanisasi manusia dengan manusia, dan disharmonisasi antara manusia dengan alam.

2.2 Filsafat Ekonomi Islam

Dalam filsafat ekonomi kapitalis tergambar prinsip laissez faire dan kekuasaan tersamar, kebebasan bagi individu diberikan seluas-luasnya untuk mengeruk keuntungan bagi dirinya. Filsafat ini memandang bahwa Tuhan itu ada tapi tidak ikut campur dalam urusan bisnis manusia. Jika kita mengacu pada konsep segitiga (triangle) filsafat Tuhan-manusia-alam, filsafat ini pada akhirnya akan membawa manusia kepada kehidupan yang materialistis.

Sedangkan dalam filsafat ekonomi Marxisme kita mengenal konsep perjuangan kelas dan pertentangan kelas, revolusi, dan kekuasaan kaum proletar. Perjuangan dan pertentangan kelas ini merupakan penjabaran dari filsafat konflik, modifikasi, dan gambaran macam-macam Tuhan bangsa Yunani yang satu sama lain bertentangan dengan kemauan dan keinginan masing-masing.

Dari uraian diatas dapat kita lihat bahwa kedua macam filsafat tersebut ternyata telah menghasilkan ilmu ekonomi yang selain tidak dapat memecahkan permasalahan ekonomi secara bulat, tapi juga tidak sanggup memecahkan permasalahan manusianya, karena manusia hanya dianggap sebagai hewan ekonomi (homo economicus).

Lalu, apa filsafat ekonomi Islam ? Asas dari filsafat ekonomi Islam adalah Tauhid, dengan pokok doktrin sebagai berikut : “Dan sesungguhnya jika kamu bertanya kepada mereka (orang-orang kafir); Siapakah yang menciptakan langit dan bumi ? Niscaya mereka menjawab : Allah” (QS Az-Zumar (39):38).


Tiga asas filsafat ekonomi Islam selanjutnya menjadi orientasi dasar ilmu ekonomi Islam, yaitu :
1) Dunia dengan segala isinya adalah milik Allah dan berjalan menurut kehendak-Nya.
2) Allah adalah pencipta semua mahluk dan semua mahluk tunduk kepada-Nya.
3) Iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu.

Makna dari tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam yang merupakan orientasi dasar ilmu ekonomi dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Dunia ini, semua harta dan sumber-sumber kakayaan adalah milik Allah dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan-Nya. Kepunyaan-Nya apa yang ada dilangit dan segala yang dibumi, semua yang ada diantara keduanya dan apa yang dibawah tanah (QS. Al Baqarah (2):6). Kemudian bagi Allah kerajaan langit dan bumi dan apa yang didalam semuanya, dan Dia Maha Kuasa atas tiap-tiap sesuatu (QS. Al-Maidah(5):20). Manusia sebagai khalifah-Nya hanya memiliki hak khilafah dan tidak absolute serta harus tunduk melaksanakan hukum-Nya. Sehingga mereka yang menganggap kepemilikan secara tidak terbatas berarti ingkar kepada kekuasaan Allah. Implikasi dari status kepemilikan menurut Islam hak manusia atas barang atau jasa itu terbatas. Hal ini jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu pada sistem kapitalis dan oleh kaum proletar pada sistem sosialis. Doktrin yang menyatakan bahwa Allah adalah pencipta segala sesuatu dan kehidupan di alam semesta merupakan landasan nilai sistem ekonomi Islam.

2) Allah itu Esa, pencipta segala mahluk dan semua yang diciptakan-Nya tunduk kepada-Nya. Salah satu ciptaan-Nya adalah manusia yang memilik hak dan kewajiban yang sama sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Alam ini, flora dan fauna ditundukan oleh Allah bagi umat manusia sebagai manfaat ekonomis dan bahan kebutuhan umat manusia (QS Al-An’am (6):142-145; An-Nahl(16):10-16; Faathir(35):27-29; dan Az_Zumar (39):21). Semua manusia adalah sama dan tidak terbentuk atas kelas-kelas, perbedaannya terletak pada ketakwaan dan amal shalehnya (QS Al-Baqarah (2):213 dan Al-Mu’min (40):13). Sedangkan ketidakmerataan karunia, nikmat dan kekayaan sumber-sumber ekonomi kepada perorangan adalah kuasa Allah pula, tujuannya adalah agar mereka yang diberi kelebihan sadar untuk menegakan persamaan dalam masyarakat (egalitarian) dan bersyukur kepada-Nya (QS Al-Maa’un (107):1-7 dan Al-Hadiid (57):7). Implikasi dari doktrin ini adalah bahwa antara manusia itu terjadi persamaan dan persaudaraan dalam kegiatan ekonomi, yakni syirkah dan qirad atau bagi hasil (profit and lost sharing).

3) Iman kepada hari kiamat sebagai asas ketiga sangat penting dalam filsafat ekonomi Islam, karena akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan tindakan ekonomi akan mempertimbangkan akibatnya pada hari kemudian. Menurut dalil ekonomi, hal ini mangandung maksud bahwa orang akan membandingkan manfaat dan biaya (cost and benefit) dalam memilih kegiatan ekonomi dengan menghitung nilai sekarang dan hasil yang akan diperoleh pada masa yang akan datang. Hasil kegiatan mendatang adalah semua yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah mati (extended time horizon).

2.3 Nilai Dasar Ekonomi Islam

Jika kita cermati, dalam sistem kapitalisme asas yang dianut adalah laissez faire, artinya hak kepemilikan perorangan adalah absolute tanpa batas, terjaminnya kebebasan melakukan segala macam kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas. Demikian pula untuk norma individualnya ditarik dari individualisme dan utilitarianisme. Hal ini berarti setiap komoditi itu dianggap baik secara moral dan ekonomi sepanjang dapat dijual. Sedangkan dalam sistem Marxisme, hak memiliki dikuasai kaum proletar yang diwakili oleh kepemimpinan diktator.

Lalu bagaimana nilai dasar ekonomi Islam yang memiliki asas filsafat tauhid ? Tauhid memiliki konteks etika yang menunjuk pada integrasi antara aspek-aspek spiritual dan temporal dalam eksistensi manusia. Tauhid bukan saja sebagai tujuan (objective), tapi juga merupakan pedoman bagi proses dinamis, satu hal yang sangat relevan bagi ilmu ekonomi. Nilai-nilai dasar ekonomi yang berfalsafah tauhid meliputi :
1) Kepemilikan (ownership).
2) Keseimbangan (equilibrium).
3) Keadilan (justice).

Ketiga nilai tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1) Kepemilikan (ownership) dalam ekonomi Islam adalah :
a) Kepemilikan terletak pada manfaatnya bukan penguasaan secara mutlak terhadap sumber-sumber ekonomi.
b) Kepemilikan terbatas sepanjang usia hidup manusia di dunia, dan bila kita meninggal dunia, harus didistribusikan kepada ahli waris menurut ketentuan Islam.
c) Kepemilikan perorangan tidak dibolehkan terhadap sumber-sumber ekonomi yang menguasai hajat hidup orang banyak.

2) Keseimbangan (equilibrium) terlihat pengaruhnya pada tingkah laku ekonomi muslim, misalnya kesederhanaan (moderation), berhemat (parsimony), dan menjauhi pemborosan (extravagance). Konsep keseimbangan ini tidak semata diarahkan pada timbangan kebaikan dunia akhirat saja tapi juga berkaitan dengan keseimbangan atas kepentingan perorangan dan kepentingan umum. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.

3) Keadilan (justice) berkaitan dengan perilaku ekonomi umat manusia mengandung pengertian sebagai berikut :
a) Keadilan berarti kebebasan yang bersyarat akhlak Islam.
b) Keadilan harus ditetapkan disemua fase kegiatan ekonomi.



2.4 Nilai Instrumental Ekonomi Islam

Dari pokok bahasan diatas kita telah melakukan sistematika secara bertahap, mulai dari filsafat, nilai-nilai dasar dan kemudian akan kita ikuti dengan nilai-nilai instrumental. Tiap sistem ekonomi menurut aliran pemikiran dan agama tertentu memiliki perangkat nilai instrumental yang berbeda pula. Dalam sistem kapitalisme nilai instrumental terletak pada nilai persaingan sempurna dan kebebasan tanpa hambatan. Sedang dalam marxisme, semua perencanaan ekonomi dilaksanakan secara sentral melalui proses berulang yang mekanistik, pemilikan kaum proletar terhadap faktor-faktor produksi diatur secara kolektif.

Dalam ekonomi Islam, nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan pada umumnya, meliputi : zakat, larangan riba, kerjasama ekonomi, jaminan sosial, dan peran negara.

1) Zakat
Sumber utama pendapatan dalam pemerintahan Islam adalah zakat, yang notabene meruapakan salah satu dari rukun Islam. Menurut Qardhawi, zakat merupakan sumber dana jaminan sosial. Zakat memainkan peranan penting dan signifikan dalam distribusi pendapatan dan kekayaan, dan berpengaruh nyata pada tingkah laku konsumsi umat. Oleh karena itu, Qardhawi lebih tegas menyatakan bahwa zakat tersebut-dalam konteks umat- menjadi sumber dana yang sangat penting. Zakat berpengaruh pula terhadap pilihan konsumen dalam mengalokasikan pendapatannya untuk tabungan atau konsumsi atau investasi. Pengaruh zakat pada aspek sosio-ekonomi yaitu memberikan dampak terciptanya keamanan masyarakat dan menghilangkan pertentangan kelas yang diakibatkan oleh perbedaan pendapatan. Pelaksanaan zakat oleh negara menunjang terbentuknya keadaan ekonomi, yakni peningkatan produktivitas yang disertai dengan pemerataan pendapatan serta peningkatan lapangan kerja bagi masyarakat.

2) Pelarangan Riba
Sarana untuk mencegah timbulnya ketidakadilan adalah pelarangan riba. Hakikat pelarangan riba dalam Islam adalah suatu penolakan terhadap timbulnya resiko finansial tambahan yang ditetapkan dalam transaksi uang atau modal maupun jual beli yang dibebankan kepada satu pihak seaja sedangkan pihak lainnya dijamin keuntungannya. Menurut Qardhawi, bahwa nash Al Qur’an yang berkaitan dengan riba menunjukan bahwa dasar pelaranagn riba adalah melarang perbauatan dzhalim bagi masing-masing dari kedua belah pihak (tidak boleh mendzhalimi dan tidak boleh didzhalimi).

3) Kerjasama Ekonomi
Kerjasama (cooperative) dalam ekonomi Islam adalah merupakan kontra dari kompetisi bebas dari ekonomi kapitalis dan kediktatoran ekonomi sosialis. Doktrin kerjasama dalam ekonomi Islam dapat meningkatkan kesejahteraan dan mencegah kesenjangan sosial, mencegah penindasan ekonomi dan distribusi kekayaan yang tidak merata, melindungi kepentingan ekonomi lemah. Dengan ekonomi yang berdasarkan kerjasama ini menghendaki organisasi dengan prinsip syirkah, yang kuat membantu yang lemah. Qiradh atau syirkah dalam Islam jelas berbeda dengan ekonomi non-Islami yang individualistis yang mengajarkan konflik antar pesaing dan memenangkan yang terkuat, sehingga melahirkan usaha untuk memupuk kekayaan, pemusatan kekayaan, pemusatan kekuatan dan ketidakadilan ekonomi, pertentangan antar kelas dan akhirnya kejatuhan bangsa dan kebudayaan.



4) Jaminan Sosial
Tujuan dari jaminan sosial adalah untuk menjamin tingkat dan kualitas hidup yang minimum bagi seluruh lapisan masyarakat. Jaminan sosial secara tradisional berkonotasi dengan pengeluaran sosial baik untuk kepentingan Negara ataupun untuk kebajikan humanis dan tujuan bermanfaat lainnya menurut syariat Islam. Nilai jaminan sosial akan mendekatkan manusia kepada Allah dan karunia-Nya, membuat manusia bersih dan berkembang, menghilangkan sifat tamak, sifat mementingkan diri sendiri, dan hambatan-hambatan terhadap stabilitas dan pertumbuhan sosio-ekonomi. Jaminan sosial akan membuat manusia lebih siap memasuki hari perhitungan karena telah mnejual dirinya untuk mencari kenikmatan Illahi. Pengeluaran sosial manusia dalam Islam akan memperoleh imbalan nyata dalam kehidupan didunia dan akhirat.

5) Peran Negara
Yang terakhir adalah peran negara dalam fungsionalisasi ekonomi Islam. Dalam hal ini negara berperan sebagai pemilik manfaat sumber-sumber, produsen, distributor dan sekaligus sebagai lembaga pengawasan kehidupan ekonomi (lembaga hisbah). Dalam kaitan dengan peranan Negara, Qardhawi mengatakan : “Tugas negara (Islam) adalah mengubah pemikiran menjadi amal perbuatan, mengubah nilai menjadi hukum undang-undang, memindahkan moralitas kepada pratik-praktik konkret, dan mendirikan berbagai lembaga dan instansi yang dapat melaksanakan tugas penjagaan dan pengembangan semua tersebut. Juga mengawasi pelaksanaan setelah itu; sejauh manakah pelaksanaan dan ketidakdisiplinan terhadap kewajiban yang diminta dan menghukum orang yang melanggar atau melalaikan pelecehan”.



2.5 Rancang Bangun Ekonomi Islam

Walaupun pemikiran para ekonom Islam terbagi dalam tiga mazhab; mazhab Bagir as-Sadr, mazhab mainstream, dan mazhab Alternatif-Kritis; tapi pada dasarnya mereka setuju dengan prinsip-prinsip umum yang mendasari ekonomi Islam. Prinsip-prinsip umum ini secara keseluruhan membentuk rancang bangun ekonomi Islam.

Fondasi dari rancang bangun ekonomi Islam diatas didasarkan pada lima nilai universal sebagai teori-nya, yaitu Tauhid (Keimanan), ‘Adl (Keadilan), Nubuwwah (Kenabian), Khilafah (Pemerintahan), dan Ma’ad (Hasil).

Teori tersebut hanya akan menjadi kajian ilmu saja jika tidak diterapkan menjadi system, karena itu dari kelima dasar tersebut dibangunlah tiga prinsip yang menjadi ciri dan cikal bakal ekonomi Islam, yaitu : Multiple Ownership, Freedom to Act, dan Social Justice.

Diatas semua nilai dan prinsip dibangunlah konsep yang memayungi semuanya, yaitu Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak karena dialah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yaitu untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak ini lah yang akan menjai panduan pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya.

2.5.1.Nilai-Nilai Universal Teori Ekonomi Islam

1) Tauhid
Tauhid merupakan fondasi ajaran Islam. “tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah”, dan “tidak ada pemilik langit, bumi, dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada.

2) ‘Adl
Manusia sebagai khalifah dimuka bumi harus memelihara hokum Allah di bumi, dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adil dan baik.

3) Nubuwwah
Karena kasih saying dan kebijaksanaannya Allah mengutus para nabi dan rasul untuk membimbing kita semua. Bagi kita umat muslim, Allah telah mengutus Nabi Muhammad SAW yang memiliki sifat-sifat utama yang harus diteladani, yaitu :
a) Siddiq
b) Amanah
c) Fthanah
d) Tabligh

4) Khilafah
Pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin, baik sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Fungsi utamanya adalah menjaga keteraturan interaksi antar kelompok-termasuk dalam bidang ekonomi-agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan atau dikurangi.
5) Ma’ad
Secara harfiah ma’ad berarti “kembali”. Karena kita semua akan kembali kepada Allah. Pandangan muslim tentang dunia akhirat dapat dirumuskan sebagai berikut : “Dunia adalah lading akhirat”. Artinya, dunia adalah ladang bagi manusia untuk berusaha dan beramal shaleh, namun akhirat jauh lebih baik daripada dunia.


2.5.2 Prinsip-Prinsip Derivatif : Ciri Ekonomi Islam

1) Multiple Ownership (Kepemilikan Multijenis)
Nilai tauhid dan nilai ‘adl melahirkan konsep multiple ownership. Dalam ekonomi kapitalis, prinsip kepemilikan umum adalah swasta; dalam sosialis, kepemilikan negara; sedangkan dlama Islam berlaku kepemilikan multijenis , yakni mengakui bermacam-macam bentuk kepemilikan, baik oleh swasta, negara atau campuran.

2) Freedom to Act (Kebebasan Bertindak/Berusaha)
Penerapan nilai nubuwwah akan melahirkan pribadi yang professional dan prestatif dalam berbagai bidang termasuk bidang ekonomi dan bisnis. Keempat nilai nubuwwah tersebut jika digabungkan dengan nilai ‘adl dan nilai khilafah akan melahirkan prinsip freedom to act pada setiap diri muslim, khususnya pelaku ekonomi dan bisnis.

3) Social Justice (Keadilan Sosial)
Gabungan nilai khilafah dan nilai ma’ad akan melahirkan prinsip keadilan social. Dalam Islam, pemerintah bertanggung jawab menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya dan menciptakan keseimbangan social antara yang kaya dan yang miskin.


2.5.3 Akhlak : Perilaku Islami Dalam Perekonomian

Landasan teori dan prinsip ekonomi Islam menuntut adanya manusia yang mengimplementasikan nilai-nilai yang terkandung dalam teori dan system tersebut. Harus ada manusia yang berlaku professional (ihsan) dan tekun (itqan) dalam bidang ekonomi, baik dalam kapasitasnya sebagai produsen, konsumen, pengusaha, karyawan ataupun sebagai pejabat pemerintah.

Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional Ditinjau dari Sudut Moral dan Etika
Ekonomi
Sistem Ekonomi
Ekonomi Islam
Sosialisme
Kapitalis
Landasan Filosofi :

Individualisme dalam peran dari wakil (vicegerent) Tuhan dibumi dengan tujuan untuk mencapai “Falah” di dunia dan akhirat, pertanggungjawaban atas kinerja
Landasan Filosofi :

Materialisme dialektikal
Landasan Filosofi :

Individualisme utilitarian berdasarkan filosofi laissezfaire
Dasar landasan mikro :

“Muslimin”
(Ahsani Taqwim)

Dasar landasan mikro :

Tidak ada kepemilikan pribadi atas alat-alat produksi

Dasar landasan mikro :

“Manusia Ekonomi”
Paradigma : Syariah
Paradigma : Marxisme
Paradigma : Ekonomi Pasar
Setelah perekonomian kita didominasi oleh kekuatan sistem ekonomi kapitalis dan sosialis, dimana sistem ekonomi kapitalis yang (tampak) lebih menjanjikan kemakmuran masyarakat yang menjadi tujuan sistem perekonomian dibandingkan dengan sistem ekonomi sosialis, saat ini mulai ramai dibicarakan suatu sistem yang dapat menjadi solusi yaitu sistem ekonomi Islam.

Dari gambar diatas dapat kita tarik beberapa hal penting, pertama, sistem ekonomi Islam berdasarkan pendekatan keilmuan sejajar kedudukannya dengan sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Kedua, jika kita cermati, sistem ekonomi Islam berbeda dengan kedua sistem lainnya. Gambar diatas menjelaskan secara gamblang perbedaan mendasar dalam hal paradigma, dasar fondasi mikro, maupun landasan filosofisnya. Sebagai contoh, bagi paham kapitalisme adalah sah saja seseorang untuk melakukan bisnis apa saja selama itu memberikan keuntungan bagi mereka. Tapi dalam ekonomi Islam ada ketentuan yang mengatur untuk tidak memperdagangkan komoditi atau jasa tertentu yang melanggar aturan syariah, misalnya menjual babi, minuman keras, perjudian, dan lain sebagainya.

Berikut ini adalah beberapa perbedaan ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional sebagai berikut :
1) Dalam Islam, dunia ini, semua harta dan sumber-sumber kakayaan adalah milik Allah dan dimanfaatkan sesuai dengan aturan-Nya.. Hal ini jelas berbeda dengan kepemilikan mutlak oleh individu pada sistem kapitalis dan oleh kaum proletar pada sistem sosialis.
2) Allah itu Esa, pencipta segala mahluk dan semua yang diciptakan-Nya tunduk kepada-Nya. Salah satu ciptaan-Nya adalah manusia yang memilik hak dan kewajiban yang sama sebagai khalifah Allah dimuka bumi. Ekonomi kapitalis membawa manusia kepada pendewaan dirinya sendiri (anthroposentris) dan memasuki wilayah ekonomi sekuler dengan menggeser eksistensi Tuhan (teosentris), dan ekonomi Marxis-Sosialis malah menghilangkan eksistensi Tuhan.


3) Iman kepada hari kiamat sebagai asas ketiga sangat penting dalam filsafat ekonomi Islam, karena akan mempengaruhi tingkah laku ekonomi manusia menurut horizon waktu. Seorang muslim yang melakukan tindakan ekonomi akan mempertimbangkan akibatnya pada hari kemudian. Hasil kegiatan mendatang adalah semua yang diperoleh baik sebelum maupun sesudah mati (extended time horizon). Value ini tidak kita temukan dalam ekonomi kapitalis dan sosialis.
4) Jika kita cermati, dalam sistem kapitalisme asas yang dianut adalah laissez faire, artinya hak kepemilikan perorangan adalah absolute tanpa batas, terjaminnya kebebasan melakukan segala macam kegiatan ekonomi dan transaksi menurut persaingan bebas. Demikian pula untuk norma individualnya ditarik dari individualisme dan utilitarianisme. Hal ini berarti setiap komoditi itu dianggap baik secara moral dan ekonomi sepanjang dapat dijual. Sedangkan dalam sistem Marxisme, hak memiliki dikuasai kaum proletar yang diwakili oleh kepemimpinan diktator. Dalam ekonomi Islam menganut asas filsafat tauhid.
5) Dalam sistem kapitalisme nilai instrumental terletak pada nilai persaingan sempurna dan kebebasan tanpa hambatan. Sedang dalam marxisme, semua perencanaan ekonomi dilaksanakan secara sentral melalui proses berulang yang mekanistik, pemilikan kaum proletar terhadap faktor-faktor produksi diatur secara kolektif. Dalam ekonomi Islam, nilai instrumental yang strategis dan sangat berpengaruh pada tingkah laku ekonomi manusia dan masyarakat serta pembangunan pada umumnya, meliputi : zakat, larangan riba, kerjasama ekonomi, jaminan sosial, dan peran negara.

BAB III. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Berdasarkan filsafat, nilai dasar, dan nilai instrumental ekonomi Islam; prinsip-prinsip ekonomi Islam secara garis besar dapat dijabarkan sebagai berikut :
1) Dalam Ekonomi Islam, berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Namun yang terpenting adalah bahwa kegiatan tersebut akan dipertanggung-jawabkannya di akhirat nanti.
2) Islam mengakui kepemilikan pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan masyarakat, dan Kedua, Islam menolak setiap pendapatan yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3) Kekuatan penggerak utama Ekonomi Islam adalah kerjasama. Seorang muslim, apakah ia sebagai pembeli, penjual, penerima upah, pembuat keuntungan dan sebagainya, harus berpegang pada tuntunan Allah SWT dalam Al Qur'an: 'Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan jalan batil, kecuali dengan perdagangan yang dilakukan dengan suka sama suka diantara kamu…' (QS.4:29).

4) Pemilikan kekayaan pribadi harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Al Qur'an mengungkap kan bahwa, 'Apa yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya sebagai harta rampasan dari penduduk negeri-negeri itu, adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu…' (QS 57:7). Oleh karena itu, Sistem Ekonomi Islam menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi Kapitalis, dimana kepemilikan industri didominasi oleh monopoli dan oligopoli, tidak terkecuali industri yang merupakan kepentingan-umum.
5) Islam menjamin kepemilikan masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak. Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, "Masyarakat punya hak yang sama atas air, padang rumput dan api" (Al Hadits). Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang, bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh individu.
6) Orang muslim harus takut kepada Allah dan hari akhirat, seperti diuraikan dalam Al Qur'an sebagai berikut: 'Dan takutlah pada hari sewaktu kamu dikembalikan kepada Allah, kemudian masing-masing diberikan balasan dengan sempurna usahanya. Dan mereka tidak teraniaya…' (QS 2:281). Oleh karena itu Islam mencela keuntungan yang berlebihan, perdagangan yang tidak jujur, perlakuan yang tidak adil, dan semua bentuk diskriminasi dan penindasan.

7) Seorang muslim yang kekayaannya melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets), termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata, pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10% (sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.
8) Islam melarang setiap pembayaran bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya. Al Qur'an secara bertahap namun jelas dan tegas memperingatkan kita tentang bunga. Hal ini dapat dilihat dari turunnya ayat-ayat Al Qur'an secara berturut-turut dari QS 39:39, QS 4:160-161, QS 3:130-131 dan QS 2:275-281.
3.2. Saran

Seperti telah penulis kemukakan diawal pemecahan terhadap permasalahan ekonomi tidak dapat dilakukan hanya dengan menyelesaikannnya secara simtom (gejala) saja tapi diperlukan suatu langkah terstruktur dan komprehensif.

Islam sebagai way of life, sebagai rahmatan lil alamin telah memberikan petunjuk kepada kita tentang bagaimana suatu keteraturan itu dibentuk disemua lini kehidupan baik dunia maupun akhirat, termasuk aturan dalam bermuamalah atau kita persempit lagi, aturan berekonomi dan berbisnis.

Penulis berpendapat bahwa penyelesaian terhadap situasi dan kondisi perekonomian yang kurang menguntungkan baik secara personal, regional, maupun global hanya dapat diatasi jika kita melakukan pembenahan yang mengakar, dan harus dimulai dari filsafat hidup yang sesuai syariah sebagai stigma awal pemicu perubahan.

Untuk itu, penulis menyarankan kepada kita semua untuk segera melakukan sosialisasi dan implementasi ekonomi syariah agar tidak menjadi bersifat ekslusive tapi kita arahkan agar menjadi inklusive dan harus dilakukan secara terus menerus (berkesinambungan) . Hal paling dekat yang bisa kita lakukan antara lain :
1). Sosialisasi melalui media dakwah di masjid-masjid dan kelompok pengajian.
2). Memasukan ekonomi syariah sebagai salah satu mata ajaran wajib dalam kurikulum di pesantren, madrasah atau sekolah-sekolah dengan basis Islam lainnya.
3). Sosialisasi melalui media-media baik elektronik maupun cetak secara terus menerus dan konsisten.


DAFTAR PUSTAKA

1). Muhammad. 2005. Pengantar Akuntansi Syariah - Edisi Revisi. Salemba Empat. Jakarta.
2). Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. IIIT Indonesia. Jakarta.
3). Metwally, M.M. 1995. Teori dan Model Ekonomi Islam – edisi terjemahan. PT. bangkit Daya Insani. Jakarta.
4). Chapra, Umer. 2000. Sistem Moneter Islam – edisi terjemahan. Gema Insani Press. Jakarta.
5). Suprayitno, Eko. 2005. Ekonomi Islam. Graha Ilmu. Yogyakarta.
6). http://portal.hayatulislam.net/ , Paradigma Ekonomi Islam, M. Shiddiq al-Jawi. Publikasi 28/04/2005.
7). http://www.tazkiaonline.com/ , Prinsip-prinsip Operasional Bank Islam, Drs. Zainul Arifin, MBA. Publikasi 22 November 2000.
8). http://www.muamalat-institute.com/ , Pengertian Ekonomi Islam, Cuplikan dari Buku Saku Lembaga Bisnis Syariah, terbitan PKES

PENDAHULUAN

Sejak adanya kehidupan manusia di permukaan bumi, hajat untuk hidup secara kooperatif di antara manusia telah dirasakan dan telah diakui sebagai faktor esensial agar dapat bertahan dalam kehidupan. Seluruh anggota manusia bergantung kepada yang lain untuk memenuhi kebutuhannya. Ketergantungan mutualistik dalam kehidupan individu dan sosial di antara manusia telah melahirkan sebuah proses evolusi bertahap dalam pembentukan sistem pertukaran barang dan pelayanan. Dengan semakin berkembangnya peradaban manusia dari zaman ke zaman, sistem pertukaran ini berevolusi dari aktivitas yang sederhana kepada aktivitas ekonomi yang modern.
Ilmu ekonomi konvesional, yang mendominasi pemikiran ekonomi modern, telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang sangat maju dan canggih, melalui suatu proses pengembangan panjang selama lebih dari satu abad. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu ekonomi konvensional memberikan kontribusi yang teramat besar bagi kemajuan kehidupan manusia secara materil, terutama sesudah Perang Dunia II. Pada masa ini, revolusi ekonomi mampu memberikan kesejahteraan kepada manusia, berasamaan dengan meningkatnya produksi, membaiknya sarana komunikasi dan bertambahnya kemampuan eksploitasi sumber daya alam. Standar hidup di antara kelas pekerja menjadi lebih tinggi daripada bila mereka hanya bergantung pada pertanian.
Namun pada perkembangannya ekonomi konvensional terbukti gagal mempertahankan idealismenya. Kondisi-kondisi ideal yang dijadikan asumsi dalam teori ekonomi konvensional tidak pernah tercapai. Bahkan dalam setengah abad terakhir ekonomi konvensional semakin menampakkan kelemahannya. Timbulnya kapitalisme memperbesar kesenjangan antar orang kaya dan orang miskin, antara pekerja dan pemilik modal, antara negara maju dan negara berkembang serta menyebabkan tingginya inflasi dan bertambahnya jumlah pengangguran.Hal tersebut dibuktikan pula dengan hasil penelitian lembaga the New Economics Foundation (NEF) Inggris tentang hubungan antara pertumbuhan pendapatan per kapita dengan proporsi atau share dari pertumbuhan tersebut yang dinikmati oleh kaum miskin. Mereka menemukan bahwa pada dekade 1980-an, dari setiap kenaikan 100 dolar AS pendapatan per kapita dunia, maka kaum miskin hanya menikmati 2,2 dolar AS, atau sekitar 2,2 persen. Artinya 97,8 persen lainnya dinikmati oleh orang-orang kaya. Kemudian pada kurun waktu tahun 1990 hingga 2001, kesenjangan tersebut semakin menjadi-jadi. Setiap kenaikan pendapatan per kapita sebesar 100 dolar AS, maka persentase yang dinikmati oleh orang-orang miskin hanya 60 sen saja, atau sekitar 0,6 persen. Sedangkan sisanya, yaitu 99,4 persen, dinikmati oleh kelompok kaya dunia. Hal tersebut menunjukkan adanya penurunan share kelompok miskin sebesar 73 persen. Fakta tersebut menunjukkan bahwa perekonomian dunia saat ini cenderung bergerak kepada ketidakseimbangan penguasaan aset dan sumber daya ekonomi, yang menjadikan kelompok kaya menjadi semakin kaya, dan kelompok miskin semakin miskin.
Dalam kondisi ini, selama tiga atau empat dekade terakhir mulai dikembangkan sistem perekonomian Islam sebagai solusi kondisi perekonomian internasional.
Al Quran sebagai Kitab Suci Umat Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah yang bersifat ritual, tetapi juga memberikan petunjuk yang sempurna (komprehensif) dan abadi (universal) bagi seluruh umat manusia. Al Quran mengandung prinsip-prinsip dan petunjuk-petunjuk yang fundamental untuk setiap permasalahan manusia, termasuk masalah-masalah yang berhubungan dengan aktivitas ekonomi. Prinsip-prinsip ekonomi yang ada dalam berbagai ayat di Al Qur’an dilengkapi dengan sunah-sunah dari Rasulullah melalui berbagai bentuk Al Hadits dan diterangkan lebih rinci oleh para fuqaha pada saat kejayaan Dinul Islamiyah baik dalam bentuk Al Ijma maupun Al Qiyas.
Pada masa Rasulullah, Islam memberikan ruang yang sangat luas bagi berkembangnya perekonomian. Salah satu prinsip dasar dalam muamalah ‘segala sesuatu hukumnya mubah, kecuali jika ada dalil yang mengharamkannya’ menjadi pendorong utama inovasi ekonomi yang mempercepat pertumbuhan ekonomi Islam.
Pada masa Khilafah Rasyidah, ilmu ekonomi semakin berkembang. Pada masa ini masyarakat mencapai taraf kesejahteraan yang tinggi, yang semakin bertambah pada masa ‘Umar bin Abdul ‘Aziz.
Ekonomi Islam mencapai puncak kejayaannya seiring dengan kejayaan Islam secara keseluruhan pada masa khalifah Harun al Rasyid. Masa kekhalifahan Harun al Rasyid berlangsung hampir seperempat abad (170-193H/786-809 M), ketika Baghdad tumbuh dari sebuah kekosongan menjadi pusat dunia kekayaan dan pendidikan. Pada masa ini, aktivitas-aktivitas komersial berkembang sampai ke Cina. Ketersediaan bantuan keuangan yang melimpah bagi para mahasiswa dan sarjana menjadikan dunia muslim sebagai suatu tempat pertemuan bagi para sarjana dari segala bidang pengajaran dan berbagai aliran dan agama. Keadilan dalam sistem perpajakan pertanian menghasilkan tingginya produksi pertanian dan meningkatnya kesejahteraan petani.
Namun berbagai permasalahan internal dan eksternal umat Islam, termasuk kerusakan moral dan peristiwa perang salib, telah melemahkan ekonomi Islam dan menghentikan perkembangan ilmu ekonomi Islam selama satu setengah abad.
Berdasarkan sejarah yang menunjukkan efektifitas sistem perekonomian Islam bila dilaksanakan sesuai tuntunan Allah dan Rasulnya, sistem ekonomi Islam kembali dilirik sebagai solusi berbagai permasalahan sosial ekonomi internasional.
Pada makalah ini, penulis mencoba membahas berbagai perbedaan di antara ilmu ekonomi konvensional dan ilmu ekonomi Islam ditinjau dari sisi moral dan etika, serta merumuskan prinsip prinsip ekonomi Islam yang menjadi dasar Ilmu ekonomi Islam.

PERBEDAAN EKONOMI ISLAM DAN EKONOMI KONVENSIONAL DITINJAU DARI MORAL DAN ETIKA

1. DEFINISI
Ilmu ekonomi konvensional berangkat dari pernyataan ‘tidak terbatasnya keinginan manusia, sementara alat pemuas segala keinginan tersebut terbatas’. Dengan demikian ilmu ekonomi konvensional didefinisikan sebagai “suatu ilmu yang mempelajari cara pengelolaan sumberdaya yang terbatas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tidak terbatas”.
Definisi ini pada akhirnya menjadikan kepentingan individu sebagai sasaran utama perekonomian, sehingga masyarkat dipandang hanya sebagai suatu kumpulan individu yang disatukan oleh kepentingan diri. Pendekatan ini memuluskan jalan bagi diperkenalkannya falsafah Darwinisme sosial, yang merupakan perluasan prinsip ‘si kuat adalah pemenang’ dan seleksi alam dari teori Darwin dapat diterapkan pada manusia. Hal ini memberikan justifikasi terselubung bagi penerimaan konsep ‘kekuatan adalah yang benar’, sehingga orang miskin dianggap bertanggung jawab terhadap kemiskinan mereka sendiri dan orang kaya dapat membebaskan diri mereka dari rasa tanggung jawab terhadap penghapusan ketidakadilan sistem ini.
Ilmu ekonomi Islam berangkat dari firman Allah yang menyatakan bahwa sumber daya alam ini diciptakan seluruhnya untuk kepentingan manusia. Namun manusia memiliki keterbatasan dalam mengelola sumber-sumber daya tersebut. Disisi lain keinginan manusia dalam Islam dibingkai oleh konsep halal haram yang membatasi meluapnya hawa nafsu manusia.
Umar Chapra mendefinisikan ilmu ekonomi Islam sebagai suatu cabang pengetahuan yang membantu merealisasikan kesejahteraan manusia melalui suatu alokasi dan distribusi sumber-sumber daya langka yang seirama dengan maqashid, tanpa mengekang kebebasan individu, menciptakan ketidakseimbangan makroekonomi dan ekologi yang berkepanjangan, atau melemahkan solidaritas keluarga dan sosial serta jaringan moral masyarakat.
M. Hasanuzzaman mendefinisikan ilmu ekonomi Islam sebagai pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber-sumber daya materiil sehingga tercipta kepuasan manusia dan memungkinkan mereka menjalankan perintah Allah dan masyarakat

2. TUJUAN
Ilmu ekonomi konvensional telah mencanangkan dua tujuan. Tujuan yang pertama bersifat positif dan berhubungan dengan realisasi ‘efisiensi’ dan ‘pemerataan’ dalam alokasi dan distribusi sumber-sumber daya.Tujuan yang lain dapat dianggap sebagai normatif dan diungkapkan dalam bentuk tujuan tujuan sosioekonomi yang secara universal diinginkan, seperti pemenuhan kebutuhan, keadaan kesempatan kerja penuh, laju pertumbuhan ekonomi yang optimal, distribusi pendapatan yang adil(merata), stabilitas ekonomi dan keseimbangan lingkungan hidup.
Sepintas lalu kedua tujuan ini sangat ideal, karena dmaksudkan untuk melayani kebutuhan individu dan masyarakat. Namun dalam prakteknya, kedua tujuan ini menjadi tidak konsisten. Bahkan negara-negara yang kaya tenyata tidak mampu memenuhi tujuan normatifnya, sekalipun mereka memiliki sumber-sumber daya yang besar. Jika sebagian tujuan ini terwujud, hal ini hanya dapat dilakukan dengan merugikan tujuan yang lain. Misalnya, tujuan efisiensi dengan penggunaan mesin industri diperoleh dengan merugikan tujuan perluasan kesempatan kerja, atau sebaliknya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa kegagalan ini makin hari makin kentara di seluruh belahan dunia.
Ilmu ekonomi Islam, selain berkonsentrasi pada alokasi dan distribusi sumber-sumber daya -seperti pada ekonomi konvensional-, namun tujuan utamanya adalah merealisasikan maqashid syari’ah.
Menurut Imam al Ghazali (505 H/1111 M) ‘tujuan utama syari’ah (maqashid syari’ah) adalah mendorong kesejahteraan manusia, yang terletak pada perlindungan terhadap agama mereka (dien), diri (nafs), akal, keturunan (nasl), dan harta benda (maal).
Sistem Ekonomi Syariah mempunyai beberapa tujuan, yakni:1.Kesejahteraan Ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumu’ah ayat 10);
2.Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (Qs. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syu’araa ayat 183)
3.Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al-An’am ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32);
4.Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial (QS. Ar-Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).
Tampak jelas bahwa ekonomi konvensional tidak memberi tempat pada keimanan (diin), sementara kehidupan, akal dan keturunan, sekalipun dianggap penting, hanya dianggap sebagai variabel eksogenous sehingga tidak mendapat perhatian yang memadai.
Dalam ekonomi Islam, keimanan ditempatkan pada urutan pertama karena keimanan berpengaruh signifikan terhadap hakikat, kuantitas dan kualitas kebutuhan materi dan psikologi dan juga cara memuaskannya. Harta benda ditempatkan pada tujuan terakhir bukan karena dianggap tidak penting, melainkan bahwa kemampuan harta dalam mewujudkan kebahagiaan manusia akan sangat bergantung dari manusia itu sendiri. Dengan kata lain, harta saja sebagai benda tidak dengan sendirinya mampu memberikan kebahagiaan kepada manusia.
Diri, akal dan keturunan berkaitan erat dengan manusia itu sendiri, sehingga kebahagiannya menjadi tujuan utama syari’at. Dengan memasukkan diri manusia, akal dan keturunannya akan memungkinkan terciptanya suatu pemenuhan yang seimbang terhadap semua kebutuhan hidup manusia, sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh ilmu ekonomi konvensional yang memberikan kesakralan yang berlebih-lebihan pada pasar dan hasil-hasilnya.

3. MANUSIA EKONOMI RASIONAL
Ilmu ekonomi konvensional sangat memegang teguh asumsi bahwa perilaku individu adalah rasional, sehingga setiap individu dianggap cukup cerdas unutuk mamasukkan faktor-faktor pencapaian tujuan normatif masyarakat, yang meliputi faktor-faktor ekonomi dan non ekonomi .
Sayangnya, ilmu ekonomi konvensional tidak memberikan tempat yang memadai bagi rasionalitas model ini. Memasukkan kesejahteraan orang lain dalam faktor ekonomi berimplikasi pada semakin terbatasnya perilaku individu.Kondisi ini menjadi tidak relevan dengan paradigma ekonomi sekuler dan harus dikesampingkan. Edgeworth bahkan dengan tegas menyatakan bahwa ‘prinsip pertama ilmu ekonomi adalah setiap pelaku digerakkan hanya oleh kepentingannya sendiri’.Ilmu ekonomi telah menciptakan konsep imajiner tentang ‘manusia ekonomi’, dimana ‘tanggung jawab sosial satu-satunya adalah menciptakan keuntungannya’[Friedman(1972)].
Islam memberikan karakteristik perilaku rasional yang sangat tegas sehingga memungkinkan penggunaan sumber-sumber daya yang diberikan Allah dalam suatu cara yang menjamin kesejahteraan individu di dunia maupun di akhirat. Kekayaan dapat diperoleh dengan segala cara yang benar tanpa menimpakan kezhaliman kepada orang lain. Kekayaan itupun dapat dibelanjakan dan diinvestasikan secara produktif untuk memenuhi kebutuhan seseorang dan masyarakat secara seimbang. Dalam hal ini Islam memberikan konsep kebutuhan secara bertingkat, mulai dari kebutuhan yang harus dipenuhi meliputi dharuriyat (kebutuhan pokok), hajiyat (kebutuhan untuk mengurangi kesulitan), dan tahsiniyat (kebutuhan akan hal-hal yang akan mempermudah penunaian kewajiban), sampai pada kebutuhan yang dilarang untuk dipenuhi, meliputi taraf (bergelimangan dalam kesenangan), israf (berlebih-lebihan), tafakhur (berbangga-bangga), dan takatsur (berlomba dengan banyak harta).

4. OPTIMUM PARETO VS OPTIMUM ISLAM
Jean Baptiste Say (1767-1832) menyatakan bahwa sama halnya dengan jagat raya, ekonomi akan berjalan dengan baik jika ia dibiarkan sendiri. Pernyataan ini selanjutnya dikenal sebagai hukum Say.
Adam Smith, yang kemudian dikenal sebagai Bapak Ekonomi, mengklaim bahwa terdapat simetri antara kepentingan publik dan swasta.’jika setiap orang dibiarkan melampiaskan kepentingannya sendiri, ‘tangan gaib’ dari kekuatan-kekuatan pasar, lewat batasan-batasan yang dipaksakan oleh kompetisi akan mendorong kepentingan seluruh masyarakat sehingga menciptakan suatu keharmonisan antara kepentingan privat dan umum.(Smith [1723-1790(1937)]
Lebih lanjut teori ekuilibrium menyatakan bahwa interaksi bebas antara konsumen yang memaksimalkan nilai guna dan produsen yang memaksimalkan laba dalam kondisi pasar yang bersaing sempurna akan menentukan ekuilibrium harga bagi barang dan jasa.Harga-harga ini bersifat netral dan mengarah pada transfer sumber daya dari satu [engguna kepada pengguna lain. Dengan demikian, tanpa upaya dan campur tangan pihak lain, terdapat produksi dari konfigurasi barang dan jasa yang sesuai dengan preferensi konsumen. Konfigurasi ini disebut ‘Optimalitas Pareto’.Ia adalah keadaan yang paling ‘efisien’ karena tidak mungkin lagi meningkatkan efisiensi tanpa menyebabkan orang lain menjadi lebih jelek kondisinya.
Dalam konsep optimum Pareto, satu-satunya kebijakan yang dapat diterima adalah yang dapat membuat paling tidak satu orang menjadi lebih baik tanpa membuat yang lain lebih jelek. John Rawls menyatakan ‘tiap-tiap orang tidak boleh bertindak sendiri untuk meningkatkan kebahagiaan umum jika dalam berbuat demikian malah membuat orang lain menjadi lebih jelek’(Rawls 1958).
Pada akhirnya, konsep Optimum Pareto tidak mengakui solusi apapun yang menuntut pengorbanan dari pihak sekelompok kecil (orang kaya) untuk meningkatkan kesejahteraan jumlah yang lebih banyak (orang miskin).
Ekonomi Islam tidak memberi ruang bagi konsep Optimum Pareto. Berangkat dari konsep keadilan dalam ekonomi, para fuqaha telah meletakkan sejumlah qaidah ushul yang dapat membantu merealisasikan kesejahteraan untuk semua dalam satu cara yang seimbang dan adil. Di antara kaidah-kaidah tersebut adalah sebagai berikut:
Suatu kerugian atau pengorbanan privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan kerugian atau pengorbanan publik, dan suatu maslahat yang lebih kecil dapat dikorbankan untuk merealisasikan maslahat yang lebih besar (pasal 26)
Suatu kerugian yang lebih besar dapat digantikan oleh kerugian yang lebih kecil (pasal 27)
Kemaslahatan masyarakat yang lebih besar harus didahulukan daripada kemaslahatan minoritas yang lebih sempit; kemaslahatan publik harus didahulukan daripada kemaslahatan privat (pasal 28)
Penghapusan kesulitan dan bahaya harus didahulukan daripada mendapatkan kemaslahatan. (pasal 30)
Bahaya harus dihilangkan sejauh mungkin (pasal 31)
Rasulullah mengajarkan manusia untuk berdo’a, memohon perlindungan kepada Allah dari ilmu yang tidak bermanfaat. Mengacu pada do’a ini, tes untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan suatu ilmu dapat dilihat dari sejauh mana kontribusi langsung dan tidak langsung yang diberikan ilmu tersebut bagi kesejahteraan manusia sesuai maqashid syari’ah.Ilmu ekonomi pun demikian.
Di dalam Islam, hanya ekuilibrium pasar yang harmoni, minimal tidak mengandung konflik dengan maqashid yang dapat dipandang sebagai optimum dan dapat diterima. Maka konsep optimum Islam berarti ekuilibrium pasar yang merefleksikan realisasi serentak tingkat optimalitas aspek efisiensi dan pemerataan yang selaras dengan maqashid.
Efisiensi optimum akan dicapai jika perekonomian telah mampu menggunakan seluruh potensi sumber daya materil dan manusia dalam suatu cara sehingga barang dan jasa dapat diproduksi dengan jumlah yang maksimal dengan tingkat stabilitas ekonomi yang masuk akal dan dengan laju pertumbuhan masa depan yang berkesinambungan.
Pemerataan Optimum dicapai bila barang dan jasa yang diproduksi dapat didistribusikan dalam suatu cara sehingga kebutuhan setiap individu dapat dipenuhi secara memadai. Juga terdapat distribusi kekayaan dan pendapat yang adil tanpa berdampak buruk pada motivasi kerja, menabung, investasi dan melakukan usaha.
Pada awalnya ekonomi konvensional tidak mengakui bahwa pemerataan dan efisiensi dapat berjalan berbarengan. Mereka berpendapat bahwa usaha untuk merealisasikan tingkat pemerataan optimal selalu mengorbankan efisiensi. Pada dasawarsa 1950-an dan 1960-an, wacana pemikiran dari para ekonom konvensional bukan saja mengabaikan aspek pemerataan, melainkan juga menekankan bahwa ‘redistribusi pendapatan yang memihak kepada kaum miskin tidak dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dalam arti output perkepala yang lebih besar’. Pandangan yang berlaku pada saat itu adalah jika pertumbuhan dapat dipercepat, mekanisme menetes ke bawah (trickle down mechanism) akan memecahkan persoalan kemiskinan dan distribusi pendapatan.
Namun Islam meyakini bahwa efisiensi dan pemerataan dapat berjalan selaras sesuai maqashid, tanpa mengorbankan salah satu aspek. Para sarjana muslim di sepanjang sejarah telah menekankan bahwa keadilan justru akan mendorong efisiensi dan pertumbuhan yang lebih besar, tidak saja dengan mempromosikan kedamaian dan solidaritas sosial, melainkan juga mendorong insentif bagi usaha dan inovasi yang lebih besar.
Barulah pada dasawarsa 1980-an, ekonomi pembangunan konvensional mengakui kenyataan ini. Pengalaman Jepang, Taiwan dan Korea Utara menunjukkan bahwa pertumbuhan dapat dicapai lebih cepat bila pemerataan ditekankan secara serentak. Pada edisi pertama buku Leading Issues in Development Economics (1964) buah tangan Gerald Meier, persoalan-persoalan kemiskinan, kesenjangan dan distribusi pendapatan nyaris tidak terlihat.Namun pada edisi keempatnya, terdapat penekanan substansial yang ditempatkan pada aspek distribusi pendapatan. Bahkan dalam salah satu bukunya yang juga terbit pada tahun 1984, dia mengatakan bahwa ‘keluar dari kemiskinan’ adalah ‘ilmu ekonomi yang benar-benar bermanfaat’.

PRINSIP-PRINSIP DALAM EKONOMI ISLAM

Islam sebagai agama Allah, mengatur kehidupan manusia baik kehidupan di dunia maupun akhirat. Perekonomian adalah bagian dari kehidupan manusia, maka tentulah hal ini ada dalam sumber yang mutlak yaitu Al-Qur’an dan As Sunnah, yang menjadi panduan dalam menjalani kehidupan. Kedudukan sumber yang mutlak ini menjadikan Islam sebagai suatu agama yang istimewa dibandingkan dengan agama lain sehingga dalam membahas perspektif ekonomi Islam segalanya bermuara pada Akidah Islam berdasarkan Al-Qur’an al Karim dan As Sunnah Nabawiyah.

Adapun yang dimaksud dengan Ekonomi Islam itu sendiri adalah sistem yang mengaplikasikan prinsip ekonomi yang sesuai dengan ajaran Islam, bagi setiap kegiatan ekonomi yang bertujuan menciptakan barang & jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Jika dilihat dari tujuannya, sekilas tidak ada perbedaan antara ekonomi Islam dan sistem Ekonomi lainnya, yaitu untuk mencari pemenuhan berbagai keperluan hidup manusia, baik bersifat pribadi atau kolektif. Demikian juga dengan prinsip dan motifnya, dimana setiap orang atau masyarakat berusaha mendapatkan hasil yang sebesar-besarnya dengan tenaga atau ongkos yang sekecil-kecilnya dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Namun sesungguhnya Ekonomi Islam secara mendasar berbeda dari sistem Ekonomi yang lain dalam hal Tujuan, Bentuk dan Coraknya. Sistem tersebut berusaha memecahkan masalah Ekonomi manusia dengan cara menempuh jalan tengah antara pola yang ekstrim yaitu kapitalis & komunis.

Singkatnya Ekonomi Islam adalah sistem Ekonomi yang berdasar pada Al-Qur’an & Hadist yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia di dunia dan akhirat (Al-Falah). Ada tiga asas Filsafat Ekonomi Islam yaitu :

Semua yang ada di dalam alam semesta ini adalah milik Allah SWT, manusia hanyalah khalifah yang memegang amanah dari Allah untuk mempergunakan milik Nya. Sehingga segala sesuatunya harus tunduk pada Allah sang pencipta & pemilik.

(An –Najm :31)
Dan hanya kepunyaan Allahlah apa yang ada dilangit dan dibumi supaya dia memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat jahat terhadap apa yang telah mereka kerjakan dan memberi balasan kepada mereka yang berbuat baik dengan pahala yang lebih baik (surga).

Untuk dapat melaksanakan tugasnya sebagai khalifah Allah, manusia wajib tolong menolong dan saling membantu dalam melaksanakan kegiatan ekonomi yang bertujuan untuk beribadah kepada Allah.

Beriman kepada hari kiamat, yang merupakan asas penting dalam suatu sistem Ekonomi Islam karena dengan keyakinan ini tingkah laku Ekonomi manusia akan dapat terkendali sebab ia sadar bahwa semua perbuatannya akan dimintai pertanggung jawaban kelak oleh Allah SWT

Selain dari asas filsafat tersebut diatas, Ekonomi Islam juga memiliki nilai-nilai tertentu yaitu :
Nilai dasar kepemilikan
Menurut sistem Ekonomi Islam :
Kepemilikan bukanlah penguasaan mutlak atas sumber-sumber ekonomi, tetapi setiap orang atau badan dituntut kemampuannya untuk memanfaatkan sumber-sumber ekonomi tersebut.
Lama kepemilikan manusia atas sesuatu benda terbatas pada lamanya manusia tersebut hidup di dunia.
Sumber daya yang menyangkut kepentingan umum atau yang menjadi hajat hidup orang banyak harus menjadi milik umum. Hal ini berdasarkan Hadist Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Ahmad & Abu daud yang mengatakan : “Semua orang berserikat mengenai tiga hal yaitu air (termasuk garam), rumput dan api” Sumber alam ini dapat dikiaskan (sekarang) dengan minyak dan gas bumi, barang tambang dan kebutuhan pokok manusia lainnya.

Keseimbangan
Keseimbangan yang terwujud dalam kesederhanaan, hemat dan menjauhi sikap pemborosan. Seperti yang terdapat dalam Al-Qur’an :

(Al Furqon: 67)
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan hartanya, tidak boros dan tidak pula kikir, dan adalah pertengahan diantara demikian.

(Ar-Rahman: 9)
Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Keadilan
Keadilan di dalam Al Qur’an, kata adil disebutkan lebih dari seribu kali, setelah perkataan Allah dan Ilmu pengetahuan. Nilai keadilan sangat penting dalam ajaran Islam, terutama dalam kehidupan hukum Sosial, Politik dan Ekonomi. Untuk itu keadilan harus di terapkan dalam kehidupan Ekonomi seperti : proses distribusi, produksi, konsumsi dan lain sebagainya. Keadilan juga harus diwujudkan dalam mengalokasikan sejumlah hasil kegiatan ekonomi tertentu bagi orang yang tidak mampu memasuki pasar, melalui zakat, infaq dan hibah.

Selain dari ketiga nilai tersebut diatas, Islam memiliki nilai instrumental yang mempengaruhi tingkah laku ekonomi seorang muslim dan masyarakat pada umumnya. Adapun nilai instrumental tersebut adalah Zakat, Larangan Riba, Kerjasama Ekonomi dan Jaminan Sosial.

Jika nilai instrumental ini dilaksanakan maka akan terwujud system ekonomi yang seimbang, menguntungkan dan mensejahterakan semua pihak.



DAFTAR PUSTAKA
Chapra, Umer.2000. “The Future of Economics : An Islamic Perspektive”, The Islamic Foundation, UK.
Quthub, Muhammad.2001.”Islam Agama Pembebas”,Mitra Pustaka,Yogyakarta
Hafidhudin, Didin,”Dari Alternatif Menjadi Suatu Keharusan”,Republika, Minggu 03 September 2006
Merzagamal,”Islam dan Ilmu Ekonomi”, PenulisLepas.com,07 September 2006
Pengenalan Ekslusif Ekonomi Islam, Mustafa Edwin Nasution, M.Sc., MAEP, Ph.D, et al edisi I tahun 2006Ensiklopedi Islam Indonesia Jilid I, Tim penulis IAIN Syarif Hidayatullah – Cet 2 ed.

Evaluasi kinerja 16.27

Evaluasi kinerja

Faktor kritis yang berkaitan dengan keberhasilan jangka panjang organisasi adalah kemampuanya untuk mengukur seberapa baik karyawan-karyawannya berkarya dan menggunakan informasi tersebut guna memastikan bahwa pelaksanaan memenuhi standar-standar sekarang dan meningkat sepanjang waktu. Evaluasi kinerja adalah suatu alat yang berfaedah yang tidak hanya untuk menilai kerja dari para karyawan, tetapi juga untuk mengembangkan dan memotivasi kalangan karyawan. Tetapi, penilaian kerja juga dapat menjadi sumber kerisauan dan frustasi bagi manajer dan karyawan. Hal ini disebabkan oleh ketidakpastian-ketidakpastian dan ambiguitas di seputar sistem evaluasi kerja. Pada intinya evaluasi kerja dapat dianggap sebagai alat untuk memverifikasi bahwa individu-individu memenuhi standar-standar kinerja yang telah ditetapkan. Penilaian kerja dapat pula menjadi cara untuk membantu individu-individu mengelola kinerja mereka. Dalam praktik, manajer departemen-departemen di perusahaan harus memahami pentingnya penilaian kinerja karyawan. Kegiatan ini dapat memperbaiki keputusan personalia dan memberikan umpan balik perusahaan kepada karyawan tentang pelaksanaan kerja.

Departemen SDM biasanya mengembangkan penilaian kerja bagi karyawan di semua departemen. Elemen Pokok sistem penilaian mencakup kriteria pelaksanaan kerja, ukuran-ukuran kriteria tersebut, dan kemudian pemberian umpan balik kepada para karyawan dan departemen SDM.

Evaluasi kinerja bukan pekerjaan yang hanya dilakukan sekali dalam setahun. Ini adalah proses yang di mulai dari saat awal perekrutan karyawan dan terus berlanjut selama karyawan tersebut bekerja untuk perusahaan. Evaluasi kinerja melibatkan komunikasi yang jelas mengenai target dan standar, penetapan tujuan yang spesifik dan dapat diukur serta umpan balik yang berkelanjutan. Deskripsi pekerjaan seorang karyawan adalah titik mula yang bagus untuk menerangkan apa yang di harapkan dari orang tersebut. Selain deskripsi pekerjaan, standar kerja juga dapat membantu memberi tahu karyawan tentang target spesifik yang harus di capai oleh posisi mereka. Di Bab 2 dan selanjutnya kami akan memaparkan pengertian tentang evaluasi kinerja berdasarkan konvensional dan berdasarkan Syariah beserta hal-hal yang terkait dengan evaluasi kinerja.

Dalam rangka melihat hasil atau proses kegiatan, dibutuhkan sebuah mekanisme evaluasi kinerja terhadap kinerja pegawai. Bahkan, keakurasian kita mengevaluasai kinerja pegawai merupakan titik pijak utama dalam proses perbaikan terhadap kinerja perusahaan. Tanpa adanya mekanisme penilaian kerja, mustahil program-program perbaikan itu akan berjalan dengan baik. hal ini sejalan dengan makna implisit pesan Rasulullah saw. Yang menyatakan bahwa:

“hari ini harus lebih baik daripada hari kemarin, dan hari besok harus lebih baik dari hari ini. Dan jika hari ini, memiliki kualitas yang lebih buruk dari kermarin, maka termasuk golongan yang celaka.”.

A. Evaluasi Kinerja Menurut Perspektif Konvensional

Evaluasi kinerja yaitu proses dimana sebuah organisasi mengevaluasi kerja individunya. Dalam evaluasi kinerja dinilai kontribusi karyawan kepada organisasi selama periode waktu tertentu. Performance feedback (umpan balik kinerja) memungkinkan karywan mengetahui seberapa baik mereka bekerja jika dibandingkan dengan standar-standar organisasi. Di dalam sebuah organisasi yang modern, evaluasi kinerja memberikan mekanisme yang sangat penting bagi manajemen untuk digunakan dalam menjelaskan tujuan-tujuan dan standar-standar kinerja dan memotivasi kinerja individu di waktu berikutnya.

Penilaian kinerja mencakup tiga faktor penting, yaitu :

1. Pengamatan. Kegiatan penilaian ini merupakan proses menilai dan menilik perilaku yang telah ditentukan oleh tim kerja.

2. Ukuran. Alat ukur dan indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja seorang personal dibandingkan dengan uraian pekerjaan yang telah diterapkan bagi personal tersebut.

3. Pengembangan. Kegiatan ini bertujuan untuk memotivasi personal agar mengatasi kekurangannya dan mendorongnya mengembangkan kemampuan dan potensi yang ada pada dirinya.

1. Tujuan evaluasi

Hasil-hasil penilaian kinerja sering berfungsi sebagai basis evaluasi regular terhadap kinerja anggota-anggota organisasi. Apakah seorang individu dinilai kompeten atau tidak kompeten, efektif atau tidak efektif, dapat dipromosikan atau tidak dapat dipromosikan, dan seterusnya adalah didasarkan pada informasi yang dihasilkan oleh sistem penilaian kinerja. Selain itu, organisasi sering mencoba mempengaruhi motivasi dan kinerja mendatang dari anggota-anggota mereka dengan mengaitkan pemberian berbagai imbalan, seperti kenaikan gaji dan promosi, terhadap nilai-nilai yang dihasilkan oleh sistem penilaian kinerja.

Dalam pendekatan evaluasi seorang manajer menilai kinerja masa lalu seorang karyawan. Evaluator menggunakan ratings deskriptif untuk menilai kinerja dan kemudian memakai data tersebut dalam keputusan-keputusan promosi, demosi, terminasi, dan kompensasi. Metode penilaian kinerja evaluative sering agak seragam, cepat, dan mudah dilaksanakan. Teknik evaluative membandingkan semua karyawan satu dengan yang lain atau terhadap beberapa standard sehingga keputusan-keputusan dapat dibuat berdasarkan catatan-catatan kinerja mereka.

Tujuan evaluasi melalui pendekatan evaluasi yaitu untuk menilai kinerja masa lalu sebagai basis untuk pelaksanaan keputusan personalia. Sedangkan melalui pendekatan pengembangan adalah untuk memotivasi dan mengarahkan kinerja individu dan upaya-upaya pengembangan karir.

2. Masalah-masalah penilaian kinerja

Masalah-masalah proses penilaian kinerja haruslah dikenali dan diminimalkan oleh penyelia yang terlatih, orang yang seyogyanya tidak hanya mengetahui masalah-masalahnya saja, tetapi juga mempelajari bagaimana menghindari kesalahan-kesalahan penilaian yang lazim terjadi. Semua metode penilaian kinerja merupakan subyek bagi kesalahan, tetapi manajemen dapat menghalau kesalahan-kesalahan dan permasalahan penilaian kinerja melalui pelatihan.

a. Bias Penyelia

Kesalahan paling lazim yang ada dalam setiap metode penilaian adalah kesadaran atau ketidaksadaran bias kepenyeliaan (supervisory bias). Bias-bias tersebut tidak berkaitan dengan pelaksanaaan pekerjaan, dan dapat bermuara dari karakteristik-karakteristik seperti usia, jenis kelamin, ras, atau karakteristik-karakteristik yang berkaitan dengan organisasi seperti senioritas, keanggotaan pada sebuah tim atletik perusahaan, atau hubungan dekat dengan kalangan puncak. Terlepas dari dasar atau penyebabnya, bias pribadi adalah sumber kesalahan dalam penilaian kinerja dan merintangi kapasitas sistem penilaian untuk melayani tujuan-tujuan organisasional untuknya sistem tersebut sebenarnya dirancang. Manajemen perlu menghilangkan bias-bias penyelia terhadap individu bawahan atau menangkal bias tersebut selama proses penialian.

b. Halo effect

Pada saat seorang penyelia memberikan satu aspek tertentu dari kinerja karyawan mempengaruhi aspek lainnya yang sedang dievaluasi, maka terjadilah efek halo (halo effect). Opini pribadi penilai mempengaruhi pengukuran kinerja karyawan. Beberapa individu mempunyai kecendrungan memberikan penilaian kinerja dengan menilai sama semua dimensi atau karakteristik yang tengah dinilai. Karenanya orang yang dinilai tinggi pada kuantitas pekerjaan akan juga dinilai tinggi pada kualitas, tinggi pada inisiatif, kerjasama, dan seterusnya.

c. Central Tendency

Penyelia mungkin sulit dan tidak menyenangkan untuk mengevaluasi beberapa karyawan lebih tinggi atau lebih rendah dari pada yang lainnya, meskipun kinerja mereka memperlihatkan perbedaan yang nyata. Masalah Tendensi terpusat (central tendency) mencuat manakala penyelia mengevaluasi setiap orang secara rata-rata. Permasalahan central tendency juga terjadi pada saat penyelia tidak dapat secara obyektif mengevaluasi kinerja karyawan disebabkan kurangnya keakraban dengan pekerjaan mereka, kurang adanya kecakapan penyeliaan, atau takut bahwa mereka bakal dicerca jika mereka mengevaluasi individu-individu terlalu rendah. Beberapa sistem skala penilaian meminta evaluator agar memberikan alasan penilaiannya dalam menuliskan penilaian yang sangat rendah atau sangat tinggi.

d. Leniency

Penyelia yang tidak berpengalaman atau yang buruk mungkin memutuskan cara yang paling mudah untuk menilai kinerja, yaitu dengan memberikan setiap orang nilai evaluasi yang tinggi.

e. Strictness

Kadang-kadang penyelia secara konsisten memberikan nilai-nilai yang rendah meskipun beberapa karyawan mungkin telah mencapai tingkat kinerja rata-rata atau diatas rata-rata.

f. Recency

Idealnya, penilaan kinerja karyawan haruslah didasarkan pada observasi yang sistematik dari kinerja karyawan sepanjang seluruh periode penilaian (umumnya 1 tahun). Sayangnya, pada saat organisasi menggunakan penilaian kinerja tahunan atau tengah tahunan, terdapat kecendrungan bagi penyelia untuk mengingat-ngingat lebih banyak hal mengenai segala sesuatu yang baru saja dikerjakan oleh karyawannya dibandingkan apa yang telah dilakukan beberapa bulan sebelumnya.

g. Pengaruh-pengaruh Organisasional

Pada intinya, penilai cenderung memperhitungkan kegunaan akhir data penilaian pada saat mereka mereka menilai bawahan-bawahan mereka. Penyelia cenderung membela bawahan mereka

h. Standar standar Evaluasi

Masalah-masalah dengan standar evaluasi muncul karena perbedaan konseptual dalam makna kata-kata yang dipakai untuk mengevaluasi karyawan-karyawan.

3. Penilaian evaluasi kinerja

Pada dasarnya ada dua aspek yang dapat dinilai, yaitu: keluaran (output) dan proses atau perilaku. Ini tergantung pada jenis pekerjaan yang dilakukan. Pada pekerjaan yang sifatnya berulang dan keluarannya mudah diidentifikasi, penilaian biasanya pada keluaran sedangkan pada pekerjaan yang hasilnya sulit dikenali, fokus penilaiannya ditujukan pada proses. Secara umum data penilaian kerja dapat dikategorikan dalam tiga kelompok utama yaitu data produksi, penilaian pihak lain dan data personil .

4. Manfaat Evaluasi kinerja

a. Perbaikan Kinerja

Umpan balik pelaksanaan kerja memungkinkan karyawan, manajer dan Departemen Sumber Daya Manusia (SDM) dapat membetulkan kegiatan untuk memperbaiki prestasi.

b. Penyesuaian Kompensasi

Evaluasi kinerja membantu para pengambil keputusan dalam menentukan kenaikan upah, pemberian bonus dan bentuk kompensasi lainnya.

c. Keputusan Penempatan

Promosi dan transfer didasarkan pada kinerja masa lalu atau antisipasinya. promosi sering merupakan penghargaan terhadap kinerja masa lalu.

d. Latihan dan Pengembangan

Kinerja yang tidak baik menunjukkan kebutuhan akan latihan. Demikian juga, Prestasi yang baik mungkin mencerminkan prestasi yang harus dikembangkan.

e. Perencanaan dan Pengembangan

Umpan balik prestasi mengarahkan keputusan karier, yaitu tentang karier yang harus diteliti.

f. Proses Staffing

Kinerja mencerminkan kekuatan atau kelemahan prosedur staffing Departemen SDM.

g. Keakuratan Informasi

Kinerja yang tidak baik menunjukkan kesalahan dalam informasi analisis jabatan, rencana sumberdaya manusia, atau komponen sistem informasi Manajemen SDM. Informasi yang akurat dapat menghasilkan keputusan personalia yang diambil tepat.

h. Desain Pekerjaan

Kinerja yang baik merupakan sesuatu tanda dalam desain pekerjaan.

i. Kesempatan yang Adil

Penialain kerja secara akurat akan menjamin keputusan penempatan internal diambil tanpa diskriminasi.

j. Tantangan Eksternal

Kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor di luar lingkungan kerja, seperti keluarga, kesehatan, kondisi financial atau masalah pribadi lainnya.

B. Evaluasi Kinerja Menurut Perspektif Syariah

1. Menurut Prabumangkunegara, konsep kinerja merupakan terjemahan dari bahasa inggris job performance or actual performance. Dengan kata lain yang di maksud kinerja pegawai adalah hasil kerja secara kuantitas yang di capai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang di berikan kepadanya. Mekanisme evaluasi dan hasil evaluasi kinerja pegawai dapat digunakan dalam berbagai hal. Pertama, sebagai kebutuhan dasar untuk mengetahui kondisi dan posisi perusahaan. Dalam lembaga ekonomi umat, ada dua hal yang penting untuk diketahui, yaitu aspek jasadiyyah dan aspek ruhiyyah. Unsur jasadiyyah dapat diketahui melalui pengukuran hasil kerja, pembukuan, dan ketertiban administrasi. Sedangkan aspek ruhiyyah berkaitan dengan Ghirah (semangat) atau misi dan visi pegawai. Standar ukurannya adalah tingkat kesearahan atau kesesuaian aspek ruhiyyah kinerja pegawai sesuai dengan syariat Islam. Kedua, hasil evaluasi dapat digunakan sebagai masukan (input) untuk pembuatan perencanaan dan pengembangan perusahaan. Sebuah perusahaan dapat berkembang atau mundur jika memiliki standar perkembangan. Dengan kata lain hasil evaluasi merupakan sebuah kebutuhan dasar untuk mengetahui gerak pertumbuhan atau perkembangan perusahaan, baik yang berkaitan dengan kinerja pegawai maupun produktivitas perusahaan. Evaluasi kinerja menurut perspektif syariah yaitu proses dimana sebuah organisasi mengevaluasi kinerja individunya berlandaskan prinsip-prinsip syariah.

1. Landasan moral pentingnya evaluasi

Islam mengajarkan bahwa setiap muslim perlu melakukan evaluasi. Setiap diri diharapkan memiliki kemauan dan kemampuan secara objektif untuk “membaca kitab” hasil kerja sendiri. Ini yang dikenal dengan istilah Muhasabah. Hal ini sejalan dengan perintah Allah SWT dalam surah Al Isra ayat 14

"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu Ini sebagai penghisab terhadapmu".

Pentingnya evaluasi adalah untuk mengetahui kinerja pegawai di lingkungan kerja. Seorang pemimpin membutuhkan informasi tentang siapa pegawai yang memiliki kinerja baik atau kurang baik. Hal ini diisyaratkan oleh firman Allah surah al Kahfi ayat 7.


“Sesungguhnya kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya”.

Ayat ini memberikan gambaran bahwa kinerja pegawai sangat variatif. Ada yang baik dan ada yang buruk. Hasil evaluasi bertujuan untuk mengetahui siapa diantara para pegawai kita, umat kita, yang memiliki kualitas kerja yang baik. Oleh karena itu, evaluasi kinerja pegawai sangat diperlukan sehingga pemimpin perusahaan mengetahui kondisi para pegawai dan kondisi perusahaannya.

2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja pegawai

a. Faktor kemampuan

Anwar Prabu mengatakan bahwa faktor kemampuan pegawai terdiri atas kemampuan potensial (IQ) dengan kemampuan reality (Knowledge + Skill). Jika dalam karya Anwar Prabu menyatakan tentang IQ saja sebagai kemampuan potensial pegawai, dalam hal ini kemampuan potensial perlu diartikan sebagai sebuah totalitas potensi eksistensi insani. Dengan kata lain, kecerdasan insani bukan IQ semata tetapi juga EQ, SQ, dan kecerdasan insani lainnya.

b. Faktor motivasi

Motivasi dalam pandangan kita diukur oleh tingkat harapan dan ketakutan di dalam diri terhadap sebuah cita. Orang yang memiliki nilai harapan yang tinggi maka dia berusaha sekuat tenaga untuk meningkatkan prestasi yang dimilikinya. Sedikit berbeda pandangan dengan McClelland, penulis berpandangan bahwa seorang karyawan islami yang memiliki harap untuk menauladani akhlak Allah, terdorong untuk meningkatkan prestasinya bukan hanya dalam bidang virus mental untuk meningkatkan prestasi, afiliasi, ataupun kekuasaan, tetapi juga sejumlah prestasi nama baik Allah (asmaul husna) yang lainnya. Seorang pegawai atau manajer muslim senantiasa meningkatkan prestasi hidupnya menuju kesempurnaan prestasi perusahaan.

Salah satu alat untuk mengevaluasi kinerja pegawai dapat menggunakan alat ukur sebagai berikut:

v Kinerja berdasarkan sifat rasul

no

Sifat rasul

Sifat Rasuli

1

Shidiq

Ø Kejujuran dalam sikap

Ø Kejujuran dalam bekerja

Ø Kejujuran dalam keuangan

2

Fathonah

Ø Cerdas

Ø Mampu menyelesaiakan masalah

Ø Memiliki kemampuan mencari solusi

Ø Mempunyai wawasan yang luas

3

Amanah

Ø Penuh tanggung jawab

Ø Bisa dipercaya

Ø Kualitas kerja bagus

4

Tabliq

Ø Sosialisasi dengan teman kerja

Ø Kemampuan bernegosiasi

Ø Transparan

v kinerja berdasarkan sifat-sifat Allah

no

Sifat Allah

Sifat Ilahiah

1

Wujud

Perilaku dan peran kita di akui oleh pihak lain

2

Qidam

Memiliki kemampuan untuk berinisiatif

3

Baqo

Memiliki konsistensi terhadap komitmen

4

Mukhalafatu lil hawaditsi

Memiliki nilai originalitas

5

Qiyamuhu binafsihi

Mandiri, tidak tergantung pada pihak lain

6

Qudrah

Memiliki kemaampuan dan kemampuan

7

Iradah

Memiliki kehendak

8

Ilmu

Memiliki pengetahuan

9

Hayah

Hidup, dinamis

10

Sama

Memiliki kemampuan mendengar aspirasi

11`

Bashor

Mampu mengamati hasil dan realitas

12

Wahdaniyyah

Memiliki kemampuan retoris

13

Kalam

Memiliki harapan untuk menjadi orang nomor satu

v kinerja berdasarkan Surat Al-fatihah

no

Karakter Fatihah

Sifat Khalifah

1

Isti’adzah

Ø Antisipatif

Ø Mengetahui tentang adanya hambatan

Ø Kesiapan untuk menghadapi tantangan

Ø Kemampuan untulk menyelesaikan tantangan

2

Basmalah

Ø Memiliki tekad yang kuat

Ø Bekerja dengan penuh kesungguhan

3

Hamdalah

Ø Kebutuhan ingin menjadi orang terpuji

Ø Ketawadhu’an diri

Ø Jiwa kesederajatan dengan orang lain

Ø Kemampuan mengelola karyawan

Ø Kemampuan mengatur peruasahaan

4

Rahmanrahim

Ø Perhatian kepada bawahan

Ø Sikap lembut kepada sesama

Ø Memberikan hadiah kepada orang yang berprestasi

5

Al-Malik

Ø Memiliki kemampuan mengevaluasi karyawan

Ø Objektif dalam menilai

6

Isti’anah

Ø Suka menolong karyawan

Ø Memiliki kepedulian sosial

Ø Dapat dijadikan perlindungan

7

Al Huda

Ø Mampu memberikan penyegaran pikiran

Ø Memiliki kemampuan mencari solusi

Ø Cerdas

8

An-Naim

Ø Memiliki Visi yang jelas

Ø Memiliki program untuk meraih cita

Ø Mengedepankan kemaslahatan bersama

3. Unsur-Unsur yang Dievaluasi

Al Quran memberikan landasan-landasan moral secara umum tentang hal-hal yang perlu dievaluasi oleh setiap individu. Unsur-unsur yang akan dievaluasi adalah sebagai berikut:

a. Aspek komitmen (keimanan)

Konsep dan nilai keimanan adalah hal yang sangat penting untuk mengukur knerja seorang pegawai. Keimanan dalam arti luas adalah pandangan hidup, falsafah gerak dalam bekerja atau mencari nafkah. Lunturnya falsafah ini, dapat dikategorikan sebagai satu bentuk lunturnya keimanan. Dalam Islam, keimanan seorang dalam bekerja harus tetapi ada dalam koridor pencarian ridho Allah swt. dengan wujud mencari nafkah dan bekerja di dunia dengan halal. Kualitas iman inilah yang harus senantiasa dipantau oleh seorang pemimpin terhadap dirinya, karyawan, atau stafnya. Hal ini sejalan dengan Firman Allah swt dalam surat Al Ankabut ayat 2-3.

"Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?

Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.”

Hasil evaluasi ini diarahkan untuk mengetahui tingkat kualitas komitmen atau keteguhannya dalam memegang prinsip, atau falsafah kerja dan nafkah dalam hidup. Kita diharapkan mampu membangun sebuah kepribadian karyawan dan staf yang memiliki keistiqomahan (teguh pendirian dalam memegang prinsip hidup).

b. Aspek pengetahuan ( keterampian)

Keterampilan dan pengetahuan setiap staf juga perlu di evaluasi, sehingga kualitas kerja dan kualitas produk dapat dipantau dengan baik. Allah swt. sendiri telah mengingatkan kita untuk tidak berbuat sesuatu hal yang tidak ada pengetahuan tentangnya. Karena pengetahuan dan keterampilam kita juga akan di minta pertangggungjawabannya. Sebagaimana terungkap dalam surat Al Isra ayat 36.

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya”.

Berdasarkan pemikiran seperti ini, setiap perusahaan atau pimpinan perlu memiliki program periodik untuk memantau keterampilan dan kemampuan para karyawannya. Perubahan sosial sangat cepat, demikian pula pengetahuan dan teknologi manusia. Dengan demikian, dibutuhkan evaluasi yang akurat terhadap kemampuan para karyawan.

c. Aspek etos kerja

Semangat kerja perlu mendapatkan perhatian sungguh-sungguh. Dinamika perusahaan akan dipengaruhi oleh etos kerja setiap personil yang ada di lingkungan kerjanya. Bahkan, baik buruknya etos kerja akan ikut mempengaruhi terhadap sehat tidaknya budaya kerja perusahaan. Mengevaluasi etos kerja ini, sejalan dengan pesan implisit Allah swt. bahwa kita tidak mungkin memasuki surga Allah swt. ketika kita sendiri tidak memiliki kesanggupan (jihad) dalam melakukan amalan-amalan yang mengarahkan kita kearah tersebut. Mustahil kita akan mampu meraih program perusahaan, jika tidak ada kesungguhan dalam bekerja dari seluruh personil yang ada di lingkungan perusahaan. Untuk lebih jelasnya, coba renungkanlah pesan Allah swt dalam Surat Ali imran ayat ke 142

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad diantaramu dan belum nyata orang-orang yang sabar”.

Ayat tersebut dengan sangat jelas mengingatkan kita bahwa untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia (sukses) dibutuhkan kesungguhan dan kesabaran dalam meraihnya. Etos kerja yang tinggi inilah yang harus tetap dipertahankan oleh perusahaan dari setiap karyawannya.

d. Aspek hasil kerja

Selain ketiga hal tersebut, islam juga mengingatkan umatnya untuk memperhatikan hasil kerja. Setiap orang di harapkan memiliki kebiasaan mengevaluasi, menimbang dan mengukur hasil kerjanya. Hal ini secara implisit dapat kita temui dalam surat Al Mukminun ayat ke 102-103 dan surat Al Qari’ah ayat 6-9.

“Barangsiapa yang berat timbangan (kebaikan)nya, maka mereka Itulah orang-orang yang dapat keberuntungan”.

“Dan barangsiapa yang ringan timbangannya, maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka jahannam”.

“ Dan adapun orang-orang yang berat timbangan (kebaikan)nya”

Maka dia berada dalam kehidupan yang memuaskan”.

“ Dan adapun orang-orang yang ringan timbangan (kebaikan)nya”

Untuk mendapatkan pengetahuan tentang kondisi hasil kerja tersebut, kita dituntut memiliki catatan hasil kerja tersebut. Kebiasaan mencatatkan amalan dan hasil kerja ini merupakan salah satu tradisi Allah swt. sebagaimana yang tercantum dalam Surat Maryam ayat ke 78-79.

“Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?”,

“Sekali-kali tidak, kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar kami akan memperpanjang azab untuknya”.

Dengan bermodalkan catatan-catatan prestasi ini, kita dapat memberikan sebuah pertanggungjawaban yang objektif dan dapat melakukan proses perbaikan secara lebih baik lagi.

4. Alat Ukur Evaluasi Dengan Perspektif Ahkamul Khamsah

Dalam ajaran Islam dikenal 5 standar hukum berlaku setiap individu yang dikenal dengan ahkamul khamsah yaitu hukum wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram. Dengan menggunakan 5 standar hukum ini dapat melakukan evaluasi secara kritis terhadap kinerja pegawai yang ada di lingkungan perusahaan.

Tabel Ahkamul Khamsah dalam Kinerja Pegawai

No

Status

Sasaran

Pengertian

1

Wajib

Orang

Tanpa ada dia perusahaan celaka atau bangkrut



Pekerjaan

Perbuatan tersebut sangat perlu dilakukan

2

Sunnah

Orang

Kehadirannya membuat perusahaan lebih maju, tetapi tanpa dia pun perusahaan masih bias bertahan (maju)



Pekerjaan

Jika dilakukan akan menambah perusahaan baik, dan jika tidak dilakukan bias bertahan.

3

Mubah

Orang

Ada atau tidak adanya pegawai tersebut, tidak ada pengaruhnya terhadap perusahaan



Pekerjaan

Sebagai perilaku yang berpengaruh yang signifikan terhadap perusahaan

4

Makruh

Orang

Kehadiran pegawai ini tidak berpengaruh terhadap perusahaan



Pekerjaan

Perbuatan yang jika dilakukan tidak membuat dampak yang negatif, tetapi jika tidak dilakukan membawa dampak positif.

5

Haram

Orang

Kehadiran pegawai tersebut membawa petaka



Pekerjaan

Perbuatan yang berdampak negatif

5. Refleksi akhir

Fluktuasi perusahaan atau lembaga kita, tidak usah ditakuti, dan juga tidak perlu ditangisi. Walaupun demikian bukan berarti harus dibanggakan. Dalam pandangan teologis, hal tersebut haruslah disikapi sebagai sesuatu hal yang alamiah, wajar, dan normal saja. Dinamika hidup adalah naik turun itulah sunnah-Nya. Oleh karena itu, sadarlah bahwa fluktuasi adalah sebuah batu ujian dari Allah swt. Kepada kita.

“ Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya), dan hanya kepada kamilah kamu dikembalikan”.

Dengan memiliki kesadaran akan naik turunya dinamika perusahaan, kemampuan evaluasi yang kritis dan objektif akan menjadi “salah satu” instrument menggerakkan gairah perusahaan kearah yang lebih baik. Dengan landasan moral seperti ini, evaluasi kerja memiliki peran menjadi titik gerak perubahan kearah yang lebih baik.



oleh : Aoshy